Sunyi lenggang, gelap gulita rasanya, walau aku yakin hari masih pagi. Perlahan kugoyangkan sayap mungilku, memaksanya untuk mengembang meski tak yakin apa kedua sayapku masih utuh. Dengan sedikit membuka mata, aku mencoba mengingat apa yang terjadi. Tak perlu waktu lama hingga aku sadar bahwa tubuhku tergeletak pada semak duri. Beberapa duri menyayat sayapku, mungkin ini yang menyebabkan mati rasa.
Namun, luka
pada kedua sayap ini tak sebanding dengan luka yang tiba-tiba kurasakan saat
melihat pohon tempatku dan kawananku tinggal, kini berubah menjadi bonggol kayu
setinggi setengah meter. Pepohonan lain disekitarnya pun tak kalah mengenaskan
nasibnya, menghitam dan beberapa telah menjadi abu.
Terlihat
jejak-jejak besar pada abu tersebut, dengan garis-garis tapak sepatu menghiasi
jejak tersebut. Entah bagaimana aku tahu bahwa manusia telah melakukan semua
ini.
Dengan perih
yang kurasakan menjalar pada luka sayapku, aku memanggil kawananku. Nihil, tak
ada jawaban. Aku tak yakin mereka mampu terbang menghindar dengan kabut asap
setebal ini. Lalu dimana mereka? Pikiran buruk akan mereka mulai membayangi,
dan menemukan sebuah bulu pada sisa-sisa abu meyakinkan pikiranku.
Mungkin ini tak sepenuhnya salah manusia-manusia itu, mungkin ini juga salahku. Bukankah pernah kualami kejadian seperti ini dimasa lampau? Kenapa aku tak belajar dari pengalaman yang telah lalu dan berubah menjadi burung kolibri pemberani, bukan pengecut yang hanya bisa bersembunyi kala masalah datang. Sekarang, kawananku menjadi korban. Aku selamat lagi, tapi tidak dengan mereka.
Tak ada
gunanya bersedih dan berduka, itu tak akan membawa mereka kembali padaku.
Namun, apa yang seekor burung kolibri bisa lakukan kecuali bersedih ketika
kawanan mereka mati? Satu-satunya
yang bisa bertanggung jawab adalah manusia-manusia itu. Seandainya aku bisa bicara, mungkin aku akan meminta pertanggung jawaban mereka.
Namun, walau aku dapat bicara, apa yang dapat
kuminta dari mereka? Menghidupkan kembali kawananku? Sementara yang bisa mereka
lakukan hanya merusak dan membunuh makhluk hidup demi memuaskan keegoisan mereka.
***
Hitam
legamnya jalan yang baru 3 hari di beri aspal seakan mendukung sang raja
siang memuntahkan cahaya panasnya kepada penghuni bumi. Dari atas, kulihat
beberapa pria-pria bertubuh besar dan perkasa mengutuki hari yang panas ini,
seakan hal itu bisa mengurungkan niat sang raja untuk terus bersinar.
“Bertahun-tahun
kawananku berteriak dan mencaci kalian atas apa yang kalian lakukan pada rumah
kami. Sekarang
saat kalian merasakan akibatnya, kalian menyalahkan sang raja siang?
Benar-benar tak tahu diri.” Aku mengomel saat melintasi kepala berkeringat
mereka. Salah seorang diantaranya mendengar dan membalas ocehanku dengan
tersenyum dan bersiul, seakan ocehanku tadi candaan untuk menggoda mereka.
Kakiku
bertengger pada sebuah pohon. Dengan jeli, mata bulatku meneliti setiap
gerak-gerik manusia-manusia besar nan perkasa itu. Beberapa diantaranya
mengenakan pelindung kepala berwarna putih. Apa yang mereka lakukan? Entahlah,
aku masih mencari tahu.
“Kita akan
membuat pagar pembatas melalui sawah di depan.” Tiba-tiba dua orang pria melintas dibawahku. Salah
satunya membawa gulungan besar berwarna biru. Saat dia membuka gulungan biru
itu, aku dapat melihat coretan tak jelas terpampang pada kertas itu. Beberapa
kali gerakan jarinya menunjuk ke arah sawah di hadapannya.
“Tapi pak,
bukan kah didepan sana terdapat pohon keramat milik warga desa yang tidak boleh
ditebang? Disitu banyak pula pepohonan besar dan menyeramkan. Bagaimana jika,
jika pohon itu berhantu?” Aku tertawa mendengar ucapan salah satu pria
tersebut. Apa benar mereka masih mempercayai hantu?
“Aku tak
peduli, mau pohon itu berhantu, beranak, yang jelas bos besar ingin membuat
pembatas melalui sawah tersebut. Jika pohon itu menghalangi, tebang! Tebang hingga
akarnya.”
Baiklah, aku
tak yakin dengan apa yang kudengar tadi, mereka akan menebang pohon di tengah
sawah itu? Mereka akan menebang pohon yang telah menjadi rumahku dan kawananku?
Aku harus memberitahukan lainnya. Dengan segera aku terbang menjauhi tempat itu
dan pulang.
Pohon tempat
tinggalku ini telah menjadi rumah kawanan burung gereja sejak lama. Dengan
kedatanganku kesini, pohon ini pun telah menjadi tempat tinggal salah satu
burung kolibri. Dengan dikelilingi sawah dan beberapa semak belukar, tempat ini
susah dijangkau oleh manusia. Jika terpaksa melewatinya, manusia-manusia itu
sering ketakutan karena besar dan gelapnya pohon tempat tinggalku.
Namun bagi
kawananku, pohon ini merupakan surga kami. Dengan banyaknya sumber makanan di
sekitar kami, membuat kami mudah mencari makan walau musim tak menjanjikan.
Aku sendiri
baru tinggal disini beberapa bulan. Saat pertama kali tiba disini, aku sempat ragu
mereka akan menerimaku, mengingat kita berasal dari spesies yang berbeda.
Namun, salah satu burung gereja tertua disini menerimaku setelah mendengar
kesusahan yang ku alami.
“Lagi-lagi,
berapa kali ketua melarangmu mengamati manusia di luar sana? Kami di sini
mengkhawatirkanmu, kau malah asyik terbang di luar sana.” Seekor burung gereja
yang tinggal denganku menyambutku dengan omelannya.
"Tak
ada waktu untuk itu. Dimana ketua? Ada hal penting yang harus ku katakan."
Aku dapat
melihatnya memutar bola matanya. "Apalagi sekarang? Manusia di luar sana
akan merusak rumah kita? Mengancam akan memburu kita?" Dengan nada
menghinanya, dia melanjutkan. "Satu-satunya ancaman kita adalah kau yang
selalu berkeliaran dan mendekati manusia di luar sana. Kelakuanmu itu dapat
membawa manusia-manusia itu ke tempat persembunyian kita ini."
Aku tak
memperdulikannya. Percuma kukatakan padanya, dia tetap tak akan percaya, tak
akan ada satu pun dari mereka yang percaya. Bukan karena aku tukang tipu atau
apa, hanya saja aku pernah sekali salah dalam memberi mereka peringatan.
Mungkin tak hanya sekali, tapi hampir sering. Tapi setidaknya kali ini aku
yakin aku benar, dan satu-satunya burung gereja yang akan mendengar ceritaku
adalah ketua.
"Tidak
lagi burung muda, cukup sering kudengarkan kau mengatakan hal seperti ini, dan
bukan tidak mungkin kali ini kau pun salah." Tanggapan burung gereja
tertua itu tak sesuai harapanku.
"Tapi
aku yakin kali ini aku tak salah. Manusia-manusia di luar sana benar-benar akan
menghancurkan pohon kita, aku mendengarnya sendiri."
Dia menghela
napas panjang. "Kau belum mengerti dengan betul lingkungan disini. Pohon
kita benar-benar aman dari gangguan manusia, tak ada yang berani mendekati
pohon lembap, besar dan menakutkan ini. Kiranya ada yang datang, tak satu pun
dari mereka yang tertantang untuk kembali. Manusia-manusia itu adalah makhluk
yang pengecut." Kata ketua dengan nada menenangkan.
"Kau
lupa sesuatu, walau pengecut, manusia adalah makhluk berakal dan serakah.
Mereka akan menggunakan otak besar mereka untuk memperoleh apa yang mereka
inginkan, dan jika mereka takut dengan tempat ini, aku yakin mereka akan
mencari cara untuk menghadapi rasa takut mereka."
"Hanya
untuk menebang sebuah pohon? Aku rasa tidak. Mereka lebih memilih meringkuk
dalam ketakutan dan mimpi-mimpi buruk mereka daripada menghadapinya hanya untuk
memperoleh hasil yang sedikit." Dengan tegas dia melanjutkan.
"Lupakan apapun yang sekarang ada dipikiranmu, kita aman di sini. Aku
telah hidup lebih lama dari masa hidupmu, aku dapat meyakinkanmu kita aman.
Sekarang keluarlah, dan ingat! Jauhi manusia-manusia itu."
Mendengar
perkataan ketua, tak ada yang dapat kulakukan. Aku pun pergi meninggalkan
sarangnya dan kembali menuju sarangku.
"Dengar,
keputusan ketua tepat untuk tidak mengambil langkah tergesa. Bisa jadi apa yang
kau dengar itu hanya keinginan sesaat manusia yang nantinya mereka lupakan,
seperti dulu." Kawan satu sarangku menghiburku.
Aku hanya
mengangguk lemah setuju, meski benakku berontak. Pikiranku mendukung, telingaku
pun menjadi saksi rencana kejam manusia-manusia itu. Cepat atau lambat mereka
akan menghancurkan pohon ini, rumahku, lagi. Namun, apa yang seekor burung
kolibri bisa lakukan?
Kawanku
melanjutkan. "Aku tahu, tak mudah untukmu melupakan kawanan aslimu.
Mungkin pula kau masih trauma dengan kejadian itu. Tapi di sini berbeda, kau
hidup dengan kawanan gereja pemalu yang tak akan dekat dengan manusia. Jadi,
kami akan tahu saat manusia datang."
Tidak, kau
salah. Mungkin benar kau bisa merasakan kedatangan mereka. Tapi, sebelum kau
bisa merasakannya, mereka telah membunuhmu terlebih dahulu. Aku tahu karena ini
pernah terjadi padaku. Pikirku. Aku tak mengungkapkannya pada kawanku
itu, karena aku tahu dia akan menyangkalnya.
***
Sekali
lagi aku menghampiri manusia-manusia yang akan menebang tempat tinggalku.
Sekedar memastikan, apakah mereka telah mengubah keinginan mereka. Aku harap
apa yang ketua pikirkan benar, dan aku salah. Lebih baik aku dipermalukan oleh
kawananku daripada melihat rumah mereka ditebang.
Tepat
saat aku mencari dahan untuk bertengger, aku dikejutkan oleh suara bergemuruh,
dilanjutkan dengan munculnya benda kuning besar lengkap dengan sebuah tangan
besar dan kaku.
"Kita
harus selesaikan semuanya pagi ini! Segera siapkan alat-alat berat untuk
meratakan pepohonan!" Aku mendengar suara pria yang kemarin ku lihat
menggenggam gulungan kertas biru.
Aku
tak tahu alat berat apa yang dimaksud, tapi pasti dimaksudkan untuk
menghancurkan tempat tinggalku. Jika dengan ucapan saja kawananku tak percaya,
maka dengan adanya benda kuning dan besar ini, aku yakin mereka akan percaya.
Secepatnya aku mengepakkan sayap-sayapku, sebelum semua terlambat.
"Aku
akan memerintahkan semuanya untuk bersembunyi dalam batang pohon. Setelah
keadaan aman, baru aku akan mengajak mereka terbang." Perintah ketua saat
aku mengatakan apa yang baru saja kulihat.
"Tapi,
semuanya akan terlambat. Tolong dengarkan aku, kita harus pergi saat masih
sempat."
"Kau
tahu mengapa tak ada satupun kawanan lamamu selamat? Karena mereka terbang saat
manusia itu mulai menghancurkan. Jika mereka terbang lebih cepat atau menunggu
saat semua aman, maka aku yakin kau tak akan bersama kami saat ini. Sekarang
bantu aku mengajak semuanya bersembunyi."Mungkin karena rasa cemas dan
khawatirku kehilangan kawananku untuk kedua kalinya, aku tak menyangkal lagi
dan segera mengajak kawananku lainnya masuk ke batang pohon.
Dapat
kurasakan rasa takut dan cemas dari kawananku. Mereka tak pernah mengalami hal
ini, tentu mereka akan sangat ketakutan. Ingin rasanya aku mengatakan bahwa
semua akan baik-baik saja. Namun, aku sendiri tak yakin kita akan selamat.
Baru
sesaat kami bersembunyi, aku dapat merasakan hentakan dahsyat saat
manusia-manusia itu mulai menebang pohon. Aku dapat mendengar teriakan
burung-burung gereja yang mulai ketakutan. Berkali-kali ketua menenangkan
mereka, namun itu saja tak cukup membuat mereka tenang.
Tiba-tiba
guncangan itu berakhir. Dalam kepanikan luar biasa yang baru saja terjadi,
diberi keheningan seperti ini mampu membuat mereka diam dan tenang. Beberapa
diantara mereka pun mulai meminta ijin ketua untuk pergi dari
persembunyian.
"Kita
harus memastikan terlebih dahulu, apakah semua aman. Adakah dari kalian yang
ingin memastikannya?" Ocehan yang sedetik tadi terdengar, hilang seketika
saat ketua mencari relawan. Tentu saja tak akan ada yang mau mengorbankan
nyawanya dengan menantang maut yang mungkin menanti mereka di luar sana. Sekali
lagi, mereka hanyalah burung gereja pemalu.
"Kalau
begitu, kita akan menunggu sampai benar-benar aman."
"Aku
akan keluar dan memeriksa keadaan." Kataku seketika. Entah apa yang
merasukiku, yang jelas, aku tak ingin kehilangan kawananku lagi. Jika dulu aku
hanyalah burung pengecut yang bersembunyi saat ada masalah, maka aku akan
menebus semua kesalahanku saat ini.
Kukepakkan
sayapku perlahan menuju lubang pada batang pohon. Tak kuhiraukan ketua yang
memanggilku. Tekadku bulat, aku lah yang akan menyelamatkan mereka.
Ketakutanku
hilang saat ku lihat tak ada satupun manusia di luar. "Keluar lah, keadaan
aman! kita selamat!"
Tiba-tiba,
saat ku lihat satu persatu kawananku keluar, sesuatu memukul kepalaku cukup
keras. Aku dapat melihat benda yang memukulku berwarna kuning, serta mencium
bau hangus sebelum semuanya menjadi gelap.
Posting Komentar