Unknown
Hai, lama banget udah nggak posting di blog ini, maklumin ya anak sekolah :D. Apa kabarnya nih? semoga baik selalu. Yang mau UNAS, semangat ya, mimin juga minggu depan UNAS nih, online pula. -_-

Sekarang, mimin bukan mau bagi ilmu apa-apa, cuma mau bagi karya cerpen mimin yang udah lama banget ada di laptop. Semoga bisa bermanfaat dan menghibur

Baca selanjutnya


Inilah Alasannya






“Menyesalkah kau ketika ku memilih untuk melupakanmu? Akankah kau menemukan penggantiku dengan cepat? Mungkinkah bila nanti aku memintamu kembali?”

Kita tidak bisa menyalahkan waktu yang membuat kita bertemu di masa muda. Waktu juga tidak bersalah atas keputusanku yang memilih untuk bersamamu sebagai sepasang kekasih. Tapi, salahkah jika menyalahkan waktu yang terlambat datang untuk menyadarkanku betapa aku mencintaimu? Karena hingga saat ini pun, aku masih mencari alasan, mengapa Tuhan pernah memberiku cinta untukmu, jika pada akhirnya kita tidak pernah bersama.

Tiga pertanyaan itu adalah pesan terakhirmu untukku. Ku katakan itu pesan, karena kau benar-benar mengatakannya melalui sepucuk surat yang kau selipkan di meja kelasku. Pagi itu aku benar-benar tidak menyangka bahwa berpisah akan menjadi keputusan terakhirmu.
Aku tidak pernah menitikkan air mataku saat membaca pesan itu. Pun aku tidak pernah menyesali keputusanmu untuk melupakanku. Mungkin karena saat itu aku belum memiliki cinta untukmu, Mungkin juga karena aku bosan dengan permainan cinta yang dijalani oleh anak remaja seperti kita kala itu.

Dalam waktu satu minggu, aku mampu melupakanmu. Aku bahkan telah dekat dengan pria lain, namanya Rei. Menganggapmu sebagai kenangan adalah hal yang mudah, karena aku sudah terlatih melakukannya. Tidak susah bagiku memikat pria setelah berpisah dari kekasih lamaku. Walaupun aku sendiri tak pernah berminat menanggapi rayuan mereka.

Tapi waktu itu berbeda. Tepat di ulang tahunku yang ke 16, Rei memutuskan untuk mengungkapkan perasaannya padaku. Tidak sepertimu, dimana aku memintamu untuk menungguku hingga satu tahun. Dengan mantap aku menolaknya dan memutuskan untuk sendiri. Aku ragu jika penolakan itu datang tulus dari hatiku, karena ku akui, sesungguhnya aku pernah mengagumi dia saat masih bersamamu. Mungkin penolakan itu datang karena aku masih menunggumu kembali.

“Aku dengar Kak Kiki menggandeng wanita baru. Adik kelas kita! Aku bahkan bertemu dengan mereka tadi,” sahabatku melihatmu dengan wanita lain. Murid baru di sekolah kita.

Saat itu juga nafasku berat, mataku panas menahan air mata yang tidak ku ijinkan untuk jatuh. Mengapa baru sekarang aku merasakan kesedihan ini? Mengapa tidak dari saat kau memutuskan untuk berpisah denganku? Apakah aku sedih karena aku telah salah sangka terhadapmu? Menganggap bahwa kau mungkin akan memintaku kemabali denganmu. Aku benar-benar terlalu percaya diri dengan menganggap bahwa kau tidak akan mencari penggantiku. Itulah yang ada dibenakku saat itu.

Seketika itu, tanganku berusaha mencari suratmu di amplop kecil dalam tasku. Surat itu masih rapi ku simpan. Aku membuka dan membacanya lagi, dan saat itu air mataku memaksa keluar.

“Pertengkaran kita sebenarnya hanya masalah kecil. Tapi entah kenapa kita membuatnya menjadi begitu besar hingga aku merasa kau tidak lagi menginginkanku di sampingmu. Kau tahu, aku selalu yakin bahwa aku dapat membawamu ke pelaminan dan mengikat janji suci bersamamu. Aku selalu yakin bahwa aku akan menjadi pria terakhir dalam hidupmu. Aku tahu kau dapat menemukan pria yang lebih baik dariku, tapi aku tahu aku tidak akan pernah merelakanmu. Percayalah, suatu saat nanti aku akan mencarimu lagi dan mencoba mewujudkan apa yang aku yakini.”

Lalu pada akhir kertas itu, aku membaca puisi singkatmu. Kau memang bukan orang yang puitis, tapi setiap kata yang kau tulis dalam puisi itu mampu membuat air mataku turun semakin deras.
Satu tahun berlalu, aku telah lulus SMA. Tak kudengar sekalipun kabarmu sejak aku tahu bahwa kau dengan wanita lain. Aku juga tidak bersusah payah mencari tahu di universitas mana kau saat itu, atau apakah wanita itu masih menjadi kekasihmu.

Tapi hati ini tidak bisa menolak rasa rindu untuk berjumpa denganmu. Sekedar ingin mengabarkan keadaanku, bahwa aku telah diterima di universitas impianku. Bahwa hingga detik itu pun aku masih saja memikirkan orang yang tak pernah ku cintai.

“Mungkin memang ada baiknya kau menghubunginya. Sudah lama juga kalian tidak saling memberi kabar,” sahabatku berbisik di sela-sela acara wisuda.

Aku meraih ponsel yang ku letakkan di dalam tas kecil di pangkuanku. Tanpa memperdulikan prosesi wisuda dan beberapa pasang mata yang terganggu dengan ke tidak fokusanku, aku mengabarimu.

Gagal, itu lah yang tertulis di layar ponselku. Hingga sepuluh kali kucoba untuk mengirim pesan ke nomormu, jawabannya masih sama, gagal. Seharusnya aku masih bisa mengirim pesan, mengingat aku baru saja membeli pulsa. Jika bukan karena pulsaku yang habis, itu artinya kau mengubah nomor ponselmu tanpa memberitahuku.

“Selamat atas kelulusannya! Aku dengar, kamu sudah di terima di universitas pilihanmu?” mataku beralih dari kamera ke arah suara lembut di belakangku.

“Terimakasih. Bukankah kau juga, Rei?” jawabku setelah orangtuaku memutuskan untuk berbincang-bincang dengan guruku.

“Ya. Kau tau yang paling hebat? Aku di terima oleh universitas yang menerimamu juga. Itu artinya kita masih bisa sering bertemu,” dia tersenyum senang dengan matanya yang berbinar.
Aku tidak bisa menolak untuk tidak tersenyum. Benar-benar pria aneh, bagaimana dia bisa tetap tersenyum di hadapanku, padahal dengan jelas aku menolaknya. Ungkap batinku saat Rei memberiku ucapan selamat.

“Nin, aku memutuskan untuk menjadi arsitek. Kau tahu kenapa? Karena aku dengar, seorang arsitek memiliki bayaran yang cukup tinggi. Dengan begitu, saat aku bertemu denganmu lagi, aku akan siap untuk memintamu mendampingiku seumur hidupku. Wah, sepertinya orangtuaku akan meninggalkanku, aku duluan ya,” Rei berlalu begitu saja setelah mengatakannya.

Air mataku mengalir ketika itu. Entah karena aku teringat akan janjimu, atau mungkin aku terharu akan perjuangannya. Walau dengan jelas aku menolaknya, dia tetap berusaha mencuri hatiku.  

Dua bulan penuh setelah prosesi wisuda, aku menganggur di rumah, menunggu hari pertamaku sebagai mahasiswi baru. Selama dua bulan itu, aku berusaha menghubungimu. Berharap tanpa sengaja kau membuka nomor lamamu dan memutuskan untuk membalas semua pesanku. Nihil, sekalipun aku tidak menemukan balasan darimu.

Aku menyerah. Kau pasti sudah melupakanku dan janjimu untuk kembali. Mungkin sekarang kau sedang bersama wanitamu yang baru. Mungkin juga kau memberi janji yang sama yang kau berikan kepadaku untuk wanitamu yang baru. Mungkin selama ini, kau tidak pernah mencari sosok cinta sejati dalam hidupmu. Kau sama dengan pria lain yang kutemui sebelumnya. Hanya ingin menjalani cinta sementara semasa remaja.

Pengalaman pahit itu menjadi pelajaranku. Aku memutuskan mengubah prinsip hidupku. Dengan mantap aku berjanji untuk tidak menerima pria manapun yang ingin menjadi kekasihku. Aku hanya akan membuka hati untuk orang yang ingin menjadi pendampingku dan menuntunku menjadi lebih baik hingga akhir hidupku.  
***
Ku kancingkan jaketku sekencang mungkin. Walau sudah menggunakan berlapis-lapis baju, tetap dapat kurasakan dinginnya hembusan angin. Walaupun Big Ben telah menunjukkan pukul setengah dua belas, dinginnya tetap terasa menusuk hingga tulangku. Berbeda terbalik dengan di Surabaya. Pada jam yang sama,  matahari akan menyengat dengan terik. Itulah perbedaan kondisi cuaca di berbagai negara.

Mataku meneliti aliran lembut sungai Thames. Beberapa orang berlalu lalang di belakangku. Ada yang mengambil foto dengan background Big Ben, ada yang berjalan-jalan dengan anjing di samping mereka, ada juga yang sekedar bersandar di pagar jembatan.

Seperti pria yang berjarak sekitar dua meter dariku. Terlihat dari warna kulitnya, sepertinya dia seorang turis dari asia. Entah apa yang dia pikirkan, berkali-kali aku melihat dia menghela napas dan bermain-main dengan salju di bawah kakinya. Di kaki kirinya tergeletak kantong plastik yang aku duga berisi barang belanjaan.

Beberapa lama aku memperhatikan pria itu. Entah mengapa aku merasa akrab dengannya. Bahkan mungkin cukup lama telah mengenalnya. Sejujurnya, aku yakin baru menemuinya hari ini. Mengingat aku baru dua hari di London.

Tiba-tiba mata kami bertemu. Mata itu begitu teduh dan tenang, seolah tidak ada masalah yang menggelayutinya. Tapi, semakin dalam aku melihat bola matanya, kesedihan seperti telah menetap cukup lama disana. Entah mengapa, aku yakin pancaran matanya tidak sepudar itu.

Tidak mau terlalu larut dalam bayangan-bayangan tak pantas, aku mengalihkan pandanganku dan berpura-pura menatap layar ponsel. Namun, aku tak bisa menolak keinginan mata ini untuk menatapnya, keinginan tangan ini untuk merangkulnya, keinginan bibir ini untuk mengatakan kepadanya bahwa semua baik-baik saja. Walau aku tak mengenalnya, aku seperti mengenal perasaan sedih itu. Seakan aku lah yang telah membuat sinar matanya memudar. Seakan aku lah yang menjadi alasan dia termenung lama. Seakan kita pernah memiliki impian yang sama.

“Pohon mangga di tepi sungai, berayun mengikuti hembusan angin. Daun-daunnya bergerak lemah gemulai, terhanyut dalam rayuan bisu angin. Satu persatu daun itu melepaskan genggamannya dan ikut terbang bersama angin. Hanya satu yang bertahan menemani pohon mangga kesepian. Tapi pada akhirnya, dia pun pergi meninggalkan pohon mangga. Kini pohon mangga sendirian, menanti tumbuhnya dedaunan baru. Dedaunan yang akan menjadi teman hidupnya hingga dia mati,” pria itu membacakan sebait puisi, memaksaku menatapnya sekali lagi.

Telingaku tidak asing dengan kalimat itu. Aku mencari-cari di tumpukan ingatanku, sebait puisi yang pria tadi ucapkan. Dadaku sesak, aku ingat puisi itu. Puisi itu tertulis di secarik kertas yang kubaca sepuluh tahun lalu. Kenangan lama terbayang dalam ingatanku.

“Kau... kau kak Kiki?” aku sangat yakin dengan tebakanku. Hanya aku dan dia yang tahu puisi di kertas itu.

“Aku senang kau mengingatnya, Nindy,” dia berjalan ke arahku. Dalam sekejap, kesedihan dari dalam matanya menghilang.

“Sudah lama aku ingin bertemu denganmu. Aku sempat putus asa mencarimu. Akhirnya sekarang aku dapat menemuimu. Kamu terlihat lebih cantik dengan jilbab,” dia berjalan semakin dekat. Cukup dekat hingga aku mampu mencium aroma tubuhnya yang khas.

“Aku masih ingat ketika kau bermimpi mengunjungi negeri ini. Kau ingin aku melamarmu di depan jam Big Ben. Keputusanku untuk berlibur ke sini tidak salah,” tangannya meraih tanganku.

Tangan itu sama dengan tangan yang dulu pernah sekali menggenggamku, mengusap kepalaku setiap kita bertemu. Tangan yang pernah melindungiku dari penganggu. Juga tangan yang sama yang menuliskan surat perpisahan dulu.

Tapi, setelah sekian lama aku menantinya, aku menatapnya seperti orang asing. Rasa bahagia akan rindu yang terlampiaskan, kini menghilang bagai tak pernah ada. Hatiku tidak menerimanya lagi seperti dulu. Tanganku menolak untuk menerima kehangatan dari tangannya. Bibirku menolak untuk memberinya senyuman terindah.

Aku menghindari genggaman tangannya. Dia paham dan melepaskan tangannya. Lagipula, dia bukanlah mahramku yang berhak untuk memegang tanganku.

“Cita-citaku sudah tercapai. Aku telah menjadi sutradara terkenal sekarang. Sesuai janjiku, aku datang lagi untuk memintamu menjadi pendamping hidupku. Maaf aku membuatmu menunggu lama, karena aku tidak siap menemuimu jika aku belum siap meminangmu,”

Kata-katanya mengalir begitu saja saat aku mendengar suara gadis kecil memanggilku.

“Bunda!”

Tangan kecilnya menggenggam bajuku. Matanya yang bulat dan polos memandang pria di depanku. “Bunda, ini siapa?” dia mengerjap penuh tanya. Tangan kecilnya menunjuk ke arah pria di depanku.

“Sayang, ini teman Bunda, namanya Om Kiki. Kak, ini,” aku menghentikan ucapanku, memandang matanya sebentar. “Ini putriku Azza,” kataku akhirnya.

Aku menangkap ekspresi aneh pada wajah Kak Kiki. Namun dia berhasil merubahnya, tepat saat Azza menghampirinya dan tersenyum ke arahnya.

“Selamat siang Om. Namaku Azza, umurku empat tahun. Om kenal bunda darimana? Apa Om juga seorang dokter seperti Bunda? Om sudah kenal ayah Azza belum? Mau Azza kenalin?” kata Azza dengan akrabnya.

Dia mengulurkan tangannya dan mengusap perlahan rambut Azza. “Om mau sekali di kenalkan dengan ayahnya Azza, tapi om harus cepat pulang. Kamu bisa lihat belanjaan Om banyak, berat banget. Om juga masih sibuk kerja. Kamu tahu, Om itu sutradara. Sekarang, Om ada rencana membuat film baru. Nanti kalau sudah selesai, Om akan kasih tiket gratis. Satu buat kamu, satu buat ayah dan satu buat bunda, terus kita bisa lihat bareng film Om,” jawabnya dengan cepat.

“Tapi sebentar lagi ayah datang kok. Ayahku arsitek loh, mungkin bisa bantuin om Kiki buat desain lokasi film,” Azza menarik tangannya dan berusaha menahan pria itu pergi.

Aku menarik Azza dan menggendongnya. “Azza, nggak sopan! Om Kiki banyak kerjaan, kamu nggak boleh egois dong. Kan lain waktu kita bisa kenalin ayah ke Om Kiki. Maaf ya Kak,”
Dia tertawa pelan. “Iya, nggak apa Nin. Om pulang dulu ya Azza. Kamu bisa ke rumah Om di Indonesia lain waktu,”

Kak Kiki memandangku dan menyunggingkan senyuman ke arahku. Saat ku lihat matanya, senyuman itu tidaklah setulus yang terlihat. Pancaran kesedihan dan kekecewaan hadir kembali dari dalam matanya. Tapi entah mengapa, saat matanya beralih ke Azza, senyumnya tiba-tiba berubah. Begitu tulus dan bahagia. Aku pun melihat Azza yang membalas senyumnya dan melambaikan tangan kecilnya.

“Seharusnya pohon mangga itu tidak hanya menanti tumbuhnya daun, tapi juga mempertahankannya. Pada akhirnya, daun yang baru tumbuh pun akan terbang tertiup angin. Hanya dahan yang kuat yang mampu membuatnya menetap. Setidaknya pohon mangga tak perlu khawatir, angin yang membawa daun tidak akan pernah merobeknya.” Aku mendengar gumaman kecil dari mulutnya dan tersenyum. Saat itu aku mendapatkan jawaban pertanyaanku selama sepuluh tahun ini, semenjak terakhir aku mencoba menghubunginya. Dia telah merelakanku.

Aku melihat bayangan pria di belakangku. Dia menatapku dari jauh. Senyumnya mengembang, menghiasi wajahnya yang seakan tercipta dengan sempurna.  Dia berjalan perlahan ke arahku. Merangkulku dan Azza dengan tangannya yang kekar dan lembut. Bibirnya membisikkan sebaris kalimat di telingaku. Aku tertawa perlahan. Dari kalimatnya, aku yakin dia mengamatiku sejak pria tadi menggenggam tanganku.


Pria tadi telah menghilang dari hadapanku, lagi. Setiap langkahnya, ikut membawa pergi semua kenangan kita. Tapi aku tidak kecewa atau sedih. Aku bersyukur karena aku tahu alasan Tuhan memberiku perasaan cinta ini untuknya. Agar aku dapat belajar mencintai seseorang dengan tulus. Walaupun orang itu bukan dia, tapi Azza dan Rei.


Label:
0 Responses

Posting Komentar